“Jika Allah itu BAIK, mengapa Ia mengizinkan adanya
kejahatan dan penderitaan?”
Dalam kitab Ayub dikisahkan bahwa Ayub,
seorang saleh yang hidupnya selalu baik ternyata mengalami penderitaan
terus-menerus sampai Ayub sendiri merasa
tidak berdaya akan situasi kemalangan yang menimpanya. Ternyata situasi
yang dialami Ayub (mungkin) juga menimpa
kehidupan kita dengan cara dan bentuk yang berbeda.
Pada kenyataannya di dunia ini terdapat
kejahatan dan penderitaan. Lalu inti pertanyaannya adalah: Apa sebabnya Allah
mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan dalam dunia? Fakta adanya
kejahatan dan penderitaan bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu,
Mahakuasa, dan Mahabaik. Jika Allah memang demikian, mengapa Ia membiarkan
adanya kejahatan dan penderitaan di dunia?
Untuk mengkaji persoalan ini, kita perlu membedakan
dua masalah: masalah kejahatan dan masalah keburukan pada umumnya, khususnya
penderitaan.
KEJAHATAN
Kejahatan menyangkut fakta bahwa manusia
bisa berkemauan dan berbuat jahat. Sikap jahat adalah sikap yang betul-betul
menolak tarikan hati nurani, yang nekat dan sadar mau berbuat secara bohong,
keji, kejam, tidak adil meskipun menyadari bahwa sikap-sikap itu jahat.
Kejahatan adalah apa yang dalam bahasa agama kita sebut DOSA.
Kejahatan terletak dalam kehendak
seseorang yang tidak mau bersikap baik. Kejahatan ini selalu jahat dan yang
jahat mutlak tidak boleh ada. Lalu mengapa Allah yang berkuasa untuk
mencegahnya, membiarkannya?
Adanya kejahatan tidak seakan-akan
membuktikan bahwa Allah itu tidak ada. Yang melakukan kejahatan bukanlah Allah
melainkan manusia. Allah
mengizinkannya terjadi meskipun Ia menolaknya.
Allah menciptakan makhluk yang berakal
budi karena hanya makhluk yang berakal budi dapat mengakui anugerah penciptaan.
Tetapi makhluk berakal budi dengan sendirinya berarti juga makhluk yang bebas.
Bagi Allah, menciptakan robot-robot yang secara otomatis berbuat sesuai dengan
kehendak-Nya tidak memiliki nilai apa pun. Allah menciptakan manusia dengan
menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk menjawab cinta kasih Allah secara
bebas. Dan karena manusia begitu penting bagi Allah, Allah mengambil RESIKO
bahwa manusia dapat memakai kebebasannya untuk menolak Allah, untuk berbuat
jahat. Allah sedikit pun tidak menghendaki kejahatan itu sendiri, tetapi demi
manusia Allah bersedia mengambil resiko bahwa kejahatan akan terjadi. Maka dari
itu agama-agama percaya bahwa orang yang bertahan dalam kejahatannya tidak
mungkin menerima keselamatan abadi di sisi Allah. Ia menempatkan diri dengan
bebas melawan kehendak Allah. Keadaan itu pun dihormati oleh Allah, itulah
NERAKA.
PENDERITAAN
Penderitaan itu adalah suatu keburukan fisik,
karena menyangkut suatu ketidakberesan objektif di alam, segala macam
kerusakan. Ketidakberesan yang paling mencolok adalah penderitaan makhluk-makhluk
perasa, khususnya manusia.
Masalah yang memang sungguh menantang iman
adalah mengapa Alah mengizinkan penderitaan. Barangkali kita sendiri mengalami
di lingkungan keluarga atau sahabat kita suatu kejadian di mana kita secara
spontan bertanya: “Bagaimana Allah dapat mengizinkan sesuatu itu dapat
terjadi?” Sesudah Tsunami tanggal 26 Desember 2004, pertanyaaan itu berulang
kali muncul di internet. Pertanyaan apakah Allah membangun dunianya atas penderitaan
orang yang tidak bersalah.
Dua ribu tahun yang lalu, Epikuros mencoba
menanggapi permasalahan ini dengan mengatakan bahwa ada 4 kemungkinan:
1.
Allah
mau menghapus keburukan di dunia, tetapi tidak mampu
2.
Ia
mampu tetapi tidak mau
3.
Ia
tidak mau dan tidak mampu
4.
Ia
mau dan mampu
Tiga kemungkinan pertama tidak dapat
diterima karena bertentangan dengan hakekat Allah yang mahakuasa dan mahabaik,
sedangkan kemungkinan keempat kelihatan bertentangan dengan kenyataan bahwa di
sekeliling kita ada banyak sekali keburukan.
Kita melihat salah satu tulisan dalam
kitab suci mengenai protes manusia religius terhadap Tuhan, yaitu dalam Ayub.
Justru karena itu muncul pertanyaan mengapa ada penderitaan. Apakah Allah tidak
dapat menciptakan tanpa menyiksa? Apakah Allah tidak bisa atau tidak mau?
Teriakan Ayub yang tersiksa yang tidak mengerti, namun tetap percaya, sejak itu
jutaan kali naik dari dari mulut dan hati para tersiksa, dan dalam zaman
modernitas menjadi pertanyaan paling serius manusia yang sudah sulit percaya
akan Allah.
Ada beberapa penjelasan yang tidak memadai
yang coba diberikan oleh agama-agama:
1.
Penderitaan adalah hukuman Allah atas
dosa-dosa orang yang bersangkutan.
PROBLEM: Penderitaan
sebagai hukuman tidak memperhatikan bahwa ada juga orang, misalnya anak kecil,
yang tidak melakukan sesuatu yang pantas dihukum, namun tertimpa penderitaan.
Tambahan pula, ada penderitaan yang kelihatan berlebihan terhadap hampir segala
dosa dan kesalahan: Apakah pantas diandaikan bahwa Allah menghukum dengan
demikian kejam?
2.
Penderitaan akan lebih dari diimbangi oleh
ganjaran di surga.
PROBLEM: Keyakinan
bahwa hidup belum habis dengan hidup di dunia ini, bahwa Tuhan untuk selamanya
akan membahagiakan, realitas pahit bahwa orang jahat sering hidup lebih enak
daripada orang baik dapat diterima oleh orang beriman. Tetapi penjelasan ini
pun menimbulkan pertanyaan: Apakah Allah yang Mahabaik harus menuntut “pembayaran” begitu kejam dari orang yang akan masuk
surga? Bahkan, mengapa surga harus “dibayar”? Kita manusia saja kadang-kadang
bersedia menawarkan sesuatu yang baik kepada orang lain tanpa menuntut sebuah prestasi khusus. Kalau Tuhan betul-betul
mencintai kita, apakah Ia harus menyiksa kita sebelum kita boleh masuk surga?
3.
Melalui penderitaan Allah mencobai mutu
manusia; hanya manusia yang bertahan dalam penderitaan pantas untuk menerima
kebahagiaan abadi di surga.
PROBLEM: Bahwa dalam
penderitaan manusia dapat membuktikan diri tidak perlu disangkal. Tetapi
pertama, ada juga orang yang malah menjadi pahit karena penderitaan yang
melampaui kekuatannya. Dan itu berarti bahwa belum tentu penderitaan selalu
mencapai efek positif. Kedua, ada penderitaan sedemikian besar sehingga orang
kelihatan hancur dan seakan-akan tergilas; lalu orang itu masih mau membuktikan
diri yang bagaimana?
4.
Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai
secara moral.
PROBLEM: Pernyataan
ini ada benarnya juga. Tetapi apakah itu berlaku bagi penyiksaan di luar batas?
Bukankah penderitaan di luar batas bisa meremukkan orang, lalu apa yang masih
tinggal untuk dimurnikan?
5.
Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada
penderitaannya adalah lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya.
PROBLEM: Pertimbangan
ini berbahaya karena seolah-olah mesti ada orang yang menderita agar
keseluruhan lebih baik. Apakah kebahagiaan harus dibangun di atas penderitaan
orang-orang tertentu.
6.
Manusia tidak seimbang dengan Allah; karena
itu ia tinggal menerima saja segala apa yang terjadi sebagai kehendak Allah
dengan tak perlu bertanya, apalagi berprotes.
PROBLEM: Apakah wajar
melarang orang untuk berprotes yang merasa diperlakukan tidak adil?
Mari sekarang kita sepakati bahwa tidak mungkin
Allah menciptakan dunia tanpa adanya keburukan dan penderitaan. Keburukan dan
kemungkinan adanya penderitaan berkaitan dengan keterbatasan dan
ketidaksempurnaan yang hakiki bagi segala ciptaan. Keburukan adalah kebaikan
yang tidak tercapai, padahal seharusnya tercapai.
Perlu diperhatikan bahwa kalau Allah tidak
dapat menciptakan alam dan manusia
tanpa membuka kemungkinan terjadinya keburukan, kejahatan dan dosa, hal itu
tidak berarti bahwa Allah tidak mahakuasa.
Tetapi apakah Allah yang baik tidak dapat mencegah kemungkinan untuk menderita dari
menjadi kenyataan? Tetapi kalau Allah setiap kali campur tangan, misalnya
mencegah anak kecil yang tangannya mau kecipratan air mendidih, Ia tidak
membiarkan alam berjalan menurut kodrat dan kekuatannya yang hakiki, yang
justru membuktikan keagungan penciptaan. Begitu Allah memutuskan untuk
menciptakan alam dengan seluruh isinya, tidak mungkin segala luka, kekerasan
dan perasaan sakit dihindari.
Dengan kata lain, apabila Allah memang mau
menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia yang secara
bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan intervensi untuk
mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi
mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya, tetapi
Allah tidak mencegahnya karena Ia konsisten dengan kehendak-Nya untuk
menciptakan alam dan manusia seperti itu.
Sebuah tambahan yang menjadi refleksi kita
bersama juga, suatu kebahagiaan menjadi bermakna dan berbobot ketika melalui
penderitaan. Kalau setiap puncak tinggi di bumi dapat tercapai dengan lift,
kepuasan mendalam yang kita peroleh apabila kita mencapainya melalui pendakian
berat dan berbahaya tentu tidak bisa tercapai. Tanpa penderitaan kehidupan
manusia tidak akan berbobot. Tanpa penderitaan, tidak ada itu tanggungjawab,
tidak ada pengurbanan, tidak ada kesetiaan, tidak ada solidaritas.
APA JAWABAN DARI SEMUA MASALAH INI?
Seorang filosof dan teolog Roma pasca
Romawi, Boethius (480-524) mengatakan, “Si
quidem deus est, unde mala? Bona vero unde, si non est?” (Apabila ada
Allah, dari mana hal-hal buruk? Tetapi dari mana hal-hal baik, kalau Ia tidak
ada?) Apabila ada Allah, dari mana datangnya keburukan dan kejahatan? Hanya ada
satu jawabannya: SAYA TIDAK TAHU.
Tapi untuk pertanyaan, “Kalau tak ada
Allah dari mana datangnya kebaikan?” kita dapat mencari penjelasannya. Menurut
Albert Camus, tanpa Allah semuanya absurd.
Mengapa? Kant mengatakan bahwa kesediaan manusia untuk bersikap moral hanya
masuk akal atas dasar harapan akan kebahagiaan di akhirat. Kebaikan hanya bisa
baik utuh apabila ada kekuatan yang menguasai segala-galanya, yang penuh kasih,
yang menjamin bahwa segala-galanya akan menjadi baik. Misalnya; kita hidup
jujur, rendah hati, baik agar kelak dapat diterima ke dalam Kerajaan Allah, ada
Allah yang menjamin kita. Jika tidak ada Allah yang menjamin kita, maka kita
akan merasa percuma saja berbuat baik di dunia kalau pada akhirnya nanti tidak
ada yang namanya Allah, Kerajaan Surga.
Lalu apa fakta kebaikan dengan masalah
penderitaan yang kita hadapi? Fakta adanya kebaikan menunjukkan bahwa harapan
Ayub memang benar, Allah mesti ada dan Allah adalah adil dan baik, secara
mutlak, seratus persen, tanpa ragu-ragu sedikit pun. Dengan mengakui dan
meyakini bahwa Allah itu baik (tanpa kompromi sedikit pun), maka betapa pun
kita tidak mengerti, segala penderitaan dan kengerian yang kita alami sudah
dikalahkan oleh kebaikan Ilahi, bahkan akan menjadi unsur dalam kebahagiaan
kita, bukan pada umumnya, melainkan pada setiap orang satu per satu. Karena
Allah itu sungguh-sungguh baik dan kebaikan Ilahi itu bebas dari segala unsur
keliru, kebaikan itu akan menang, bahkan segala penderitaan menjadi unsur yang
ikut membahagiakan. Kunci untuk mengatasi masalah ini adalah janji yang terimplikasi
dalam adanya Allah bahwa, “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka”
(Wahyu 21, 4)
(Y.L. Indra Kurniawan S.S.,M.M.)
“Kita tidak dapat
menentukan situasi yang menimpa diri kita, tapi kita dapat menentukan sikap
kita terhadap situasi tersebut”
Sumber Utama:
Kitab Suci
Suseno, F., Magnis, 2006, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius
Comments
Post a Comment