APA ITU KEBAHAGIAAN?
The Pursuit of Happinness
Setiap manusia di dunia ini pada umumnya mencari
kebahagiaan. Hidup pun akhirnya menjadi sebuah pencarian akan makna atau bahkan kebahagiaan itu
sendiri, the pursuit of happinness. Saya jadi teringat akan sebuah film yang dibintangi oleh Will Smith yang
berjudul The Pursuit of Happinness, di sana dikisahkan seorang ayah yang berjuang sekuat tenaga untuk menghidupi
keluarganya. Ia mulai dari
hidup serba berkekurangan, tidak memiliki tempat tinggal, tidak memiliki
uang sampai akhirnya berhasil
mencapai kesuksesan berkat kerja keras yang luar biasa. Sebuah perjalanan berat
dan panjang untuk mencapai kebahagiaan.
Iseng-iseng saya lalu bertanya ke beberapa sahabat saya, “Apa itu kebahagiaan?” Jawaban yang diberikan pun beranekaragam. Ada yang menjawab kebahagiaan itu adalah perasaan senang dan bebas dari perasaan duka, ada lagi yang menjawab kebahagiaan itu adalah tercapainya cita-cita, hidup sehat dan kaya raya, atau ada juga yang tidak tahu apa itu kebahagiaan. Setiap orang yang saya tanya mengenai kebahagiaan pasti memberikan jawaban yang variatif. Masing-masing orang mencoba memaknai kebahagiaan dengan arti yang berbeda-beda. Kebahagiaan pun menjadi relatif sesuai dengan perspektif masing-masing individu.
Kebahagiaan itu relatif
Sekarang pertanyaannya saya ulang kembali: APA ITU
KEBAHAGIAAN?
Setelah disurvei, banyak orang memaknai
kebahagiaan sebagai terpenuhinya atau tercapainya suatu harapan, cita-cita,
keinginan-keinginan tertentu. Biasanya menyangkut soal materi, tempat tinggal,
keluarga, teman, pasangan hidup, agama, status sosial, jabatan pekerjaan, dll.
“Saya akan bahagia jika mempunyai pasangan hidup
yang sesuai dengan apa yang saya idamkan”
“Saya akan bahagia jika mempunyai banyak uang,
mempunyai rumah yang besar dengan beberapa mobil.”
“Saya akan bahagia jika memiliki jabatan yang
tinggi di kantor dan dihormati banyak orang”
Ok, sampai disini saya pause dulu sejenak. Mari kita pertajam lagi, apakah kebahagiaan itu
memang demikian adanya? Apakah contoh-contoh di atas merupakan kebahagiaan yang
sesungguhnya, kebahagiaan yang sejati?
Kita ambil sebuah contoh, teman saya mengatakan
bahwa hidupnya akan bahagia apabila memiliki seorang kekasih yang cantik, baik,
pandai memasak, perhatian, dewasa, dan keibuan. Setelah ia memiliki kekasih
yang hampir sesuai dengan harapannya itu, muncul kekhawatiran baru; ketakutan
akan kekasihnya akan selingkuh, lalu khawatir apabila kekasihnya akan bosan
bersama dengan dia, dll.
Teman saya yang lain mengatakan bahwa dia akan
bahagia apabila memiliki motor besar dengan kapasitas 650 cc. Ia bekerja keras
dan menabung sekuat tenaga sampai akhirnya berhasil membelinya. Ternyata tidak
lama setelah itu ia tidak cukup puas dan ingin membeli mobil karena motor besar
sungguh membuatnya tersiksa jika sedang hujan atau terkena macet.
Jika hal tersebut boleh kita sebut sebagai
kebahagiaan, mengapa bisa muncul kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, keluhan,
dll. Banyak orang selama ini menganggap bahwa terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan,
keinginan-keinginan, harapan, nafsu sebagai sebuah kebahagiaan, tapi saya
melihat itu semua sebagai kebahagiaan
semu. Kebahagiaan-kebahagiaan itu sifatnya sementara dan artificial, hanya
di permukaan saja. Setelah keinginan yang satu terpenuhi maka akan muncul
keinginan yang lain lagi, kemudian disusul kekhawatiran lagi terus-menerus
tanpa henti bagai lingkaran setan. Semua itu terjadi karena tidak ada yang
tetap dan kekal di dunia ini, sama halnya dengan kebahagiaan semu tersebut juga
mengalami proses perubahan. Selain itu terkait dengan keadaan manusia yang
selalu merasa tidak puas karena dipenuhi oleh nafsu keserakahan sehingga
keinginan-keinginan selalu muncul tanpa henti dan tidak pernah terpuaskan.
Konsep
kebahagiaan yang dibangun di atas nafsu keserakahan dan keinginan pada akhirnya
akan melahirkan penderitaan dan kekecewaan.
Sampai di titik
ini tampaknya kita semakin bingung dan semakin tidak memahami apa itu
kebahagiaan. Bahkan KBBI pun menurut saya tidak memberikan jawaban yang
memuaskan, di sana dikatakan bahwa bahagia adalah keadaan atau perasaan senang terteram (bebas dari segala yang
menyusahkan). Perlu saya sampaikan bahwa hidup itu tidak mungkin tanpa
penderitaan, karena kita hidup di dunia realistis. Penderitaan itu sudah satu
paket dengan kebahagiaan yang sejati. Tidak mungkin kita mencapai kebahagiaan
tanpa penderitaan itu sendiri. Kuncinya adalah cara berpikir kita dan cara kita
memandang, bagaimana kita melihat penderitaan itu sebagai kebahagiaan.
Penderitaan, kekecewaan, kekesalan dan hal-hal negatif lainnya adalah guru
latihan kita yang terbaik. Kita tidak perlu menolak dan membenci hal-hal yang
tidak kita sukai, tapi jadikanlah sebagai teman latihan yang dapat membuat kita
menjadi pribadi yang lebih dewasa. Transformasi pikiran menjadi kunci untuk
melihat penderitaan sebagai sebuah kebahagiaan.
Grateful
Lalu sekarang
caranya bagaimana? Ngomong sih gampang! Prakteknya?
Mari kita
sepakati bersama bahwa kebahagiaan itu ada seiring dengan adanya penderitaan,
dan kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat dicari tetapi dapat
dialami saat ini. Kebahagiaan karena menerima semua kekurangan dan menerima
semua penderitaan. Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang akan terjadi di masa
depan, di masa yang akan datang sepserti sebuah target atau pencapaian harapan.
Kebahagiaan itu adalah saat sekarang ini (present moment). Menyadari saat ini
adalah saat-saat yang luar biasa.
Salah satu
penyebab utama munculnya ketidakbahagiaan adalah kurangnya rasa bersyukur atas
setiap pengalaman hidup yang kita terima.
Suatu kali saya
terlibat dalam sebuah percakapan ibu-ibu di sebuah rumah makan. Maaf, lebih
tepatnya saya yang tidak sengaja menguping pembicaraan mereka.
“Kamu sudah punya anak berapa?”
“Belum ada”
“Enak dong, belum ada tanggungan. Belum ada
yang musti diurus. Kalau gue mah udah berasa banget nyekolahin anak. Biayanya
gede, bayar uang sekolah, seragam, beli buku, belom lagi bayar les, dll. Ini
aja masih SD, gimana nanti udah SMP, SMA trus kuliah? Belom lagi yang kecil,
baru TK aja biayanya udah juta-jutaan. Mati gak lu coba?”
“Yah, namanya juga punya anak, mau ngga mau
ya lu urusin lah.”
“Enak jadi elu ya, belom punya anak, gaji lu
berdua sama laki lu dipakai sendiri, trus ngga ada yang ngerepotin setiap hari.”
“Justru gua udah 2 tahun ama laki gua
kepengen banget punya anak, di rumah sepi. Sampe sekarang belom dikasih-kasih
sama yang di atas.”
Demikian obrolan
terus berlanjut di antara mereka. Saya jadi tidak habis pikir, ibu A melihat
kekurangan ibu B (yang belum memiliki anak) sebagai sebuah keberuntungan dan
menjadikan apa yang dianggap keberuntungannya sebagai sesuatu yang tidak
menyenangkan?
Learn from Jesus
Sadar tidak
sadar, inilah kenyataan yang sering terjadi. Seringkali kita sulit untuk
bersyukur dengan keadaan kita saat ini, karena adanya rasa tidak puas dan
selalu iri dengan orang lain. Yakinlah, bahwa dengan bersyukur kita akan
mengalami kebahagiaan itu sendiri. Dalam hal ini Yesus sendiri memberikan
contoh yang luar biasa hebat. Ketika Perjamuan Terakhir bersama dengan para
murid, Ia tahu bahwa karya penyelamatan yang sesungguhnya akan dimulai. Ia tahu
bahwa Ia akan mengalami penyiksaan yang hebat dan mati di kayu salib. Tetapi Ia
mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada
murid-muridNya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuhKu.” Sesudah itu
Ia mengambil cawan, mengucap SYUKUR lalu memberikannya kepada mereka (Mat
26:26-29).
Bayangkan,
menghadapi kematian dengan mengucap syukur. Sungguh luar biasa! Jadi
kebahagiaan itu bukanlah soal terpenuhinya keinginan-keinginan yang sifatnya
duniawi belaka, atau terbebas dari situasi dan kondisi yang menyusahkan dan
menyebabkan penderitaan. Kebahagiaan itu adalah saat ini, ketika kita bisa
menerima dan mensyukuri
segala kenyataan diri kita, segala situasi dan kondisi yang kita alami baik itu
yang menyenangkan maupun yang tidak mengenakkan.
(Y.L. Indra Kurniawan S.S.,M.M.)
Comments
Post a Comment