Bagaimana Menghadapi Kematian Anda?
Ada sebuah kisah tentang seorang pemuda yang
mempunyai seorang kekasih. Selama mereka bersama, sang pemuda selalu
mengacuhkan kekasihnya. Ia tidak terlalu peduli dengan kekasihnya itu. Ia lupa
tanggal ulang tahunnya, ia lupa kapan pertama kali mereka bertemu, ia tidak
tahu makanan kesukaannya, ia tidak pernah mendengarkan dengan seksama ketika
kekasihnya berkeluh kesah.
Suatu hari, kekasihnya meninggal karena tertabrak
mobil. Hancur sudah hati sang pemuda, ia belum pernah merasakan kesedihan
seperti hari itu. Ia sangat menyesal karena selama ini ia merasa belum
membahagiakan kekasihnya itu. Maka, di samping jenazah kekasihnya, ia berdoa
kepada Tuhan dengan penuh kesungguhan hati, “Tuhan, malam ini aku mohon satu
hal kepadaMu, tolong hidupkan kembali kekasihku. Aku rela memberikan apapun
asal kekasihku ini hidup kembali. Aku menyesal karena selama ini aku belum
membahagiakan dirinya.“
Ketika sang pemuda bangun keesokan harinya,
ternyata ia mendapati kekasihnya sedang tertidur dengan lelap di sebelahnya. Ia
mengucek-ngucek matanya dan mencubit tangannya sendiri, takut-takut ia
bermimpi. Ternyata tidak. Semua itu nyata, kekasihnya tidak meninggal.
Sang pemuda menyangka bahwa ia bermimpi kalau
kekasihnya itu meninggal, padahal Tuhan memberikan ia kesempatan sekali lagi
untuk membahagiakan kekasihnya itu. Maka, Tuhan mengembalikan waktu seminggu
sebelum kekasihnya itu meninggal.
Selama tiga hari pertama, sang pemuda masih belum
sadar bahwa ia diberi waktu oleh Tuhan. Pada hari keempat, ia mulai menyadari
sepertinya ia pernah menjalani kehidupan hari ini sebelumnya (merasa de javu).
Setelah melihat gejala-gejala yang terjadi, ia akhirnya yakin bahwa kejadian
saat ini sama seperti kejadian sebelum istrinya meninggal. Jika demikian,
berarti tiga hari lagi istrinya akan mati karena tertabrak mobil.
Sang pemuda berusaha sekuat mungkin dan mencari
cara supaya kejadiannya tidak berulang. Namun, apa daya ternyata takdir tidak
dapat diubah. Ia akhirnya memutuskan untuk memakai waktu yang ada dengan
mencintai kekasihnya ini. Ia mengajaknya berjalan-jalan ke tempat yang
disenangi kekasihnya itu, membelikan makanan kesukaannya, memenuhi segala
keinginannya, membelikannya kalung berlian, pokoknya ia berusaha sedapat
mungkin untuk menyenangkan kekasihnya itu. Sampai akhirnya ketika sang pemuda
tahu bahwa kekasihnya itu akan tertabrak mobil, ia memutuskan untuk
menyelamatkan kekasihnya dari kecelakaan itu. Akhirnya kekasihnya selamat, tapi
sang pemuda itu yang meninggal.
KEMATIAN. Setiap orang di dunia ini pasti akan mati cepat
atau lambat. Tidak ada yang dapat menghindar dari kematian. Kematian menjadi
entitas yang melekat dalam diri manusia. Kesadaran akan kematian sudah dimiliki
manusia sejak awal.
Pada umumnya, banyak orang takut memikirkan kematiannya
sendiri. Kematian membuat seseorang merasa bahwa hidupnya tidak berarti. Kematian
dapat membuat seseorang menjadi pesimis dalam melihat hidup. Untuk apa kita
bekerja setengah mati di dunia, mengumpulkan uang dan tabungan, menjaga
kesehatan, mencari status, menjaga nama baik jika pada akhirnya kita semua akan
mati.
Banyak juga orang yang melarikan diri pada
rutinitas hidup (kesibukan kerja, tuntutan untuk berdisplin, mengembangkan
hobi, dan lain-lain) untuk menyingkirkan ketakutan mereka akan ketidakberartian
mereka di hadapan kematian.
Kematian sebenarnya tidaklah memunculkan
absurditas (ketidakberartian). Kematian justru membuat manusia mampu memaknai
hidupnya. Sama seperti kisah pemuda di atas, kesadaran akan kematian mampu
menjadikan hidupnya lebih bermakna bagi sang kekasihnya sebelum ia mati. Fakta
kematian memungkinkan manusia dapat melihat hidup sebagai sebuah jalinan yang
saling terkait antar peristiwa-peristiwa hidup. Semuanya itu membuat
keseluruhan hidup yang bermakna.
Kematian tetap membuat hidup menjadi bermakna
karena dalam perjalanannya, manusia menantikan dan menyongsong kematian dengan
mengantisipasinya. Antisipasi itu dilakukan dengan mengerjakan segala sesuatu
dengan sungguh-sungguh. Antisipasi inilah yang mampu membuat hidup itu dimaknai
dan bukan dengan melihat panjang pendeknya hidup. Kematian yang sudah ada dalam
diri manusia akan mendorong manusia untuk mengisi hidupnya dengan segala hal
yang bermakna.
Minggu lalu kita merayakan Hari Raya Semua Orang
Kudus. Alasan utama menetapkan suatu pesta umum ini adalah
karena kerinduan untuk menghormati sejumlah besar martir, teristimewa yang
wafat dalam masa penganiayaan oleh Kaisar Diocletion (284-305), yaitu masa
penganiayaan yang paling luas, keji dan bengis. Para martir memberikan kita
sebuah contoh bagaimana mereka memaknai kehidupannya dengan setia dalam
penderitaan dan penganiayaan demi mempertahankan iman mereka sampai mati.
Sebagai
orang yang beriman, kita harus memiliki tujuan hidup dalam
menghadapi kematian. Mengapa? Supaya kelak kita dapat sungguh siap untuk
bertemu dengan Tuhan Sang Pencipta dan mempertanggung jawabkan segala hal yang
telah kita perbuat selama kita hidup di dunia ini. Nah, sekarang pertanyaan untuk
kita bersama adalah; bagaimana kita
memaknai hidup kita selama ini, mengingat waktu yang kita miliki di dunia ini
sangatlah terbatas? Selamat merenung, Tuhan memberkati! (Y.L. Indra Kurniawan S.S., M.M.)
Comments
Post a Comment