KATOLIK NASIONALIS!
Bagi anda para pecinta film Hollywood, pasti pernah menonton atau paling
tidak mendengar film DIVERGENT yang belum lama ini sempat marak di pasaran
bioskop-bioskop kesayangan anda. Singkat cerita, film ini mengisahkan tentang
sebuah komunitas yang dibagi dalam 5 kategori tatanan politis. Kelima
jenis kategori tersebut adalah Candor (jujur), Erudite (genius), Amity (suka
damai), Dauntless (pemberani) dan Abnegation (penolong tanpa pamrih). Sedangkan mereka yang tidak termasuk di
antara kelimanya disebut sebagai Divergent (berbeda) dan kelompok ini
disingkirkan karena mengancam tatanan politis padahal justru orang-orang yang
divergent inilah yang dibutuhkan untuk memelihara kesatuan dan keberagaman
masyarakat. Politik seringkali malah menjungkirbalikkan keharmonisan yang
seharusnya tercipta karena adanya kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Lalu
apa kabar dengan Indonesia yang notabene adalah negara multikutural dan
multiagama?
Indonesia dalam kepungan
Fundamentalisme[1]
Belakangan ini kita mengetahui bahwa gerakan-gerakan fundamentalisme
menjadi isu yang selalu marak di bumi Indonesia. Gerakan ini cenderung radikal
dan pada umumnya dilakukan dalam bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap
kepentingan lain sehingga berpotensial dalam menyulut pertikaian yang semakin
meluas. Gerakan ini sudah jelas mengancam kesatuan dan keBhinekaan Indonesia
yang sejak era kemerdekaan sudah digaungkan menjadi landasan ideologi hidup warga
negara Indonesia. Kita dapat melihat beberapa kelompok tersebut seperti FPI
(Front Pembela Islam), Laskar Jihad, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), dan
kelompok lainnya yang mengusung tema-tema Islami namun diusung dengan
gerakan-gerakan yang cenderung anarkis. Gerakan-gerakan ini jelas sangat berpotensial
dalam melahirkan konflik, karena mencoba menyatukan budaya-budaya lokal yang
berbeda dalam satu tatanan berdasarkan ideologi agama yang absolutis. Padahal
kita harus mengakui dan menghargai kemajemukan juga keunikan setiap pribadi bukan
malah memaksa untuk menyetirnya di bawah rezim otoritas yang mengatasnamakan
agama.
KEMAJEMUKAN, kenyataan dari
kesatuan pengada-pengada
Setiap manusia adalah pribadi yang unik. Misalnya dua orang manusia, kalau
mereka didekatkan satu sama lain, mereka tetap dua. Pendekatan fisik sedikit
pun tidak mempengaruhi kesatuan dan keutuhan masing-masing. Persatuan paling
erat antara dua orang terjadi di dalam cinta. Mereka menjadi sedemikian satu
sehingga kebutuhan dan kesenangan yang satu menjadi kebutuhan dan kesenangan
yang astunya dan sebaliknya. Namun dalam persatuan, mereka tidak campur-baur,
perbedaan antara mereka tetap terjaga, artinya, identitas mereka tetap utuh.
Beda dengan dua batu bata yang dijadikan satu dengan semen, kemengadaan mereka
tidak sama dengan manusia. Misalnya Lukas dan Maria adalah pasangan yang saling
mencintai dan telah menikah. Mereka menjadi satu di dalam perkawinan namun
tetap memiliki identitasnya masing-masing sebagai Lukas dan sebagai Maria. Persatuan
mereka adalah dialektis dalam arti bahwa dalam persatuan yang paling erat (di
mana yang satu seakan-akan tidak lagi dapat hidup tanpa yang satunya) identitas
dan kekhasan masing-masing justru terjamin dan dimantapkan.[2]
Dengan demikian kita harusnya menyadari dan mengakui bahwa setiap pribadi
manusia sebagai pengada itu unik adanya. Demikian pun masing-masing suku, ras,
dan agama yang terdiri dari pengada-pengada itu unik dan khas adanya. Maka
tepatlah ketika Indonesia melandaskan ideologinya pada Bhinneka Tunggal Ika
yang menghargai keberagaman namun menjunjung kesatuan. Lalu bagaimana menyikapi
gempuran fundamentalisme yang menggempur Nasionalisme bangsa ini?
HUMANISME, panggilan umat
beriman
Beberapa hari lalu saya melihat ada orang yang memasang iklan di Path, jejaring aplikasi sosial media
yang kini marak dewasa ini di samping Facebook,
“Telah menghilang dari rumah selama 3 hari, seorang pria usia 63 tahun
(disertai foto seorang kakek tersebut). Mohon hubungi nomor ********** bagi
yang melihat/menemukan.” Kemudian banyak orang memberi komentar di bawahnya,
ada yang berupa simpati dan ada juga yang berusaha untuk membantu mencarinya
dengan menyebarkan iklan tersebut.
Ini adalah salah satu contoh bukti gerakan humanisme yang terjadi di
sekitar kita di antara sekian banyak gerakan kemanusiaan yang terjadi di
seluruh dunia. Sekarang pun banyak perusahaan sudah dituntut untuk memiliki CSR
(Company Social Responsibility) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap
masyarakat. Setiap perusahaan harus ikut serta sumbangsih dalam upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mereka dituntut untuk
berperan dalam kegiatan sosial, bukan sekedar mencari keuntungan belaka.
Kita juga tahu banyak orang atau kelompok kemanusiaan yang mengecam dan
mengutuk segala macam bentuk kekerasan, peperangan dan penindasan manusia di
seluruh dunia karena semua itu adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Immanuel Kant, seorang fisuf asal Jerman, mengatakan bahwa manusia harus
menjadi tujuan pada dirinya sendiri, bukan semata-mata sebagai alat atau sarana
yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Dengan demikian kesadaran bahwa
nilai-nilai kemanusiaan harus didahulukan menjadi sebuah keutamaan. Humanisme
berarti pengakuan terhadap martabat dan nilai manusia secara individual serta
semua usaha untuk kemampuan, sebuah rohani yang terarahkan pada kebaikan orang
lain.[3]
Maka dari itu, kelompok manapun yang mengatasnamakan agama untuk
menyetir/memperbudak/memperalat/menjadikan seseorang hanya sebagai instrumen
demi kepentingan pihak tertentu harus dilawan.
Namun banyak juga yang salah mengartikan konsep humanisme sebagai ateisme
baru karena menempatkan manusia di atas Tuhan sebagai ciptaan tertinggi.
Humanisme keagamaan akhirnya malah banyak ditentang karena menghilangkan
dimensi Yang Ilahi dalam kehidupan manusia. Yang dimaksud dalam humanisme agama
yang sebenarnya adalah agama yang tidak lagi dipandang secara sempit terbatas
pada ajaran dan ritusnya sendiri namun mau melihat dan memijakkan kakinya dalam
kehidupan nyata yang konkret. Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan tidak
serta-merta mengesampingkan Tuhan, justru yang terjadi malah sebaliknya, dengan
menyuntikkan humanisme ke dalam agama, wajah Tuhan menjadi lebih nyata dalam
agama tersebut. Fundamentalisme agama dengan demikian tidak dapat lagi
dipertahankan eksistensinya.
Pernah suatu hari saya melihat ada seorang dermawan memberikan uang kepada
seorang ibu yang sangat membutuhkan uang untuk membiayai uang sekolah anaknya
yang sudah menunggak sampai 3 bulan. Sang ibu menjual cincin satu-satunya ke
toko emas supaya dapat membayar tagihan uang sekolah kedua anaknya yang sudah
menunggak selama 3 bulan, namun hasil penjualannya itu tidak mampu menutupi
biaya tunggakannya tersebut bahkan satu bulan pun. Mengetahui itu pemilik toko
emas malah memberikan sejumlah uang untuk sang ibu supaya bisa melunasi tunggakan
uang sekolah anaknya. Spontan sang ibu menangis dan mengucap syukur atas
kebaikan Tuhan melalui pemilik toko emas tersebut. Pemilik toko emas
tersebut tidak peduli apakah ras, suku, golongan ibu tersebut, dia hanya
bertindak sesuai dengan gerakan hatinya: demi KEMANUSIAAN.
KATOLIK, universalitas dan
bagian dari universalitas
Seorang Katolik adalah seorang biasa yang merupakan bagian dari bangsa,
ras, golongan, atau kelompok tertentu. Ia juga berasal dari sebuah keluaga dan membangun
keluarga juga. Ia juga belajar, bekerja, berkembang, dan ikut membangun
masyarakat. Ia juga mempunya agama, dan agamanya adalah Katolik. Katolik
sendiri berarti “umum”, “universal” dan memang kenyataannya ia memang terlibat
dan bagian dari universalitas. Ia tidak hidup terisolasi namun tetap menjadi
bagian dari masyarakat. Orang Katolik sama dengan semua orang baik dengan orang
Hindu, orang Islam, orang Budha, orang Kristen, orang Kong Hu Cu. Kekhasan
orang Katolik ialah bahwa ia menghayati iman itu dalam Gereja Katolik. Orang
Katolik, sama seperti semua orang lain, mempunyai pandangan hidup. Agamanya
pertama-tama membantu dia menghadapi tantangan hidup dengan sikap yang jelas
dan tegas. Ia hidup bersama orang lain di tengah-tengah masyarakat, namun
agamanya mendorong dia supaya tidak tenggelam dalam arus kehidupan. Ia
mempunyai pandangan dan pendapat sendiri yang menjadi pegangan hidup. Ia ingin
terlibat dalam kehidupan masyarakat dan ikut membangun negara, namun bukan
sebagai boneka atau budak, melainkan dengan visi yang berdaulat dan pikiran
yang bebas. Ia mempunyai kepercayaan diri dan bertindak dengan sikap yang bebas
serta bertanggung jawab untuk menampakkan wajah Tuhan dalam humanisme.
PANCASILA, konkretisasi
ajaran YESUS
Tentu kita semua sebagai warga negara Indonesia menghafal Pancasila.
Sekarang perhatikan baik-baik, Pancasila ini dibagi dalam dua kategori besar:
Sila Pertama, sebagai pengakuan manusia terhadap Tuhan sebagai urutan pertama
di atas segala-galanya. Dalam Tap MPR no.11/MPR/1978 (Naskah P4, II, 1)
dikatakan bahwa “agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang
dipercayai dan diyakininya. Maka dikembangkanlah sikap saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaannya itu kepada orang lain”. Maka dari itu
tidak ada seorang pun yang berhak memaksa orang lain dengan cara apapun soal
agama dan kepercayaannya.
Kemudian sila Kedua-Kelima, sebagai pedoman hidup bernegara dalam kewajiban
kita sebagai manusia yang hidup bermasyarakat dimana di dalamnya terkandung
nilai-nilai luhur dalam hidup bermasyarakat. Kita diatur untuk mengakui
persamaan derajat, hak dan kewajiban di antara sesama manusia dengan
menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara
di atas kepentingan pribadi atau golongan. Meniadakan salah satunya menjadi
salah satu bentuk penghianatan jati diri kita sebagai bagian dari bangsa
Indonesia juga sebagai umat beriman.
Mengacu pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, jelaslah bahwa
fundamentalisme tidak dapat dipertahankan. Di sisi lain, justru humanismelah
yang harusnya semakin digalakkan di dalam diri siapapun umat beriman sebagai
bagian dari masyarakat. Sesuai dengan perkataan Yesus dalam Injil Matius 22:36-40,
"Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Jawab
Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua
hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Y.L. Indra Kurniawan S.S.,M.M)
DAFTAR PUSTAKA
KWI. 1996. Iman Katolik.
Yogyakarta: Kanisius.
Magnis, Franz. 2001. Merajut Kembali
Persatuan. Jakarta:PT Bina Rena Pariwara.
Magnis, Franz. 2006. Menalar Tuhan.
Yogyakarta: Kanisius.
Magnis, Franz. Basis: Agama,
Humanisme dan Masa Depan Tuhan (Basis: No. 05-06, Mei-Juni 2002).
[1] Fundamentalisme adalah suatu gerakan yang
ingin kembali kepada dasar-dasar agama secara “penuh” dan “literal” bebas dari
kompromi, penjinakan reinterpretasi. Dalam KBBI ditegaskan lebih tajam bahwa
fundamentalisme adalah suatu paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu
secara radikal.
[2] Magnis, Franz, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2006) hlm. 199-200.
[3] Magnis Suseno, Basis: Agama, Humanisme,
dan Masa Depan Tuhan (Basis: No 05-06, tahun 51, Mei-Juni 2002) hlm. 35.
Comments
Post a Comment