Masih Ada Orang Baik di Zaman Sekarang
Peristiwa ini masih tercetak jelas dalam
ingatanku. Enam tahun yang lalu ketika aku masih duduk di kelas 2 SMA, aku
bersama dengan tiga orang temanku bertekad untuk menggapai kota Bandung dengan
mengendarai sepeda. Maka, pada bulan Desember 2003, ketika liburan akhir tahun
pun tiba, kami berempat merealisasikan cita-cita gila itu dengan bersepeda dari
Pasar Minggu sampai Bandung. Dengan semangat muda yang penuh gairah kami berangkat menaiki
sepeda kami masing-masing. Begitu lugu dan polosnya kami berempat melakukan
ekspedisi panjang tanpa berpikir banyak mengenai resiko yang akan terjadi. Satu
hal yang kami yakini, bahwa Tuhan akan menyertai kami selama perjalanan. Dengan
iman itulah niat kami selalu membara selama perjalanan.
Kami menempuh rute; Pasar Minggu – Depok – Cibubur
– Bogor – Ciranjang – Cikalong Kulon – Padalarang – Bandung. Dengan pertolongan
Tuhan, akhirnya dalam waktu dua hari kami sampai di Bandung. Namun berhubung karena
stamina kami sudah lowbat maka akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke
Jakarta keesokan harinya dengan naik kereta.
Yang selalu saja membuat saya berkesan adalah
malam di mana kami menginap. Jadi setelah seharian bersepeda, kami sudah berada
di daerah Bogor dan sudah dekat ke arah Ciranjang, namun letak pastinya kami
tidak tahu, yang jelas di sekeliling kami adalah hutan. Rumah – rumah pun sudah
jarang terlihat. Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain cukup
jauh. Dengan kondisi cuaca yang gerimis, lalu suasana mulai gelap dan sunyi,
karena peralihan dari sore ke malam ditambah dengan lampu jalan yang
memprihatinkan, kami mulai cemas memikirkan di mana kami akan beristirahat pada
malam itu. Kami mulai mencari-cari penjara terdekat atau minimal ada mesjid
supaya kami ada tempat untuk beristirahat. Di tengah-tengah kebingungan itu,
akhirnya kami mampir ke sebuah warung dan memesan mie rebus. Tiba-tiba muncul
ide untuk numpang mandi di rumah penduduk yang terletak di sebelah warung
tersebut. Maka tanpa pikir panjang, aku datang ke rumah itu dan meminta izin
kepada sang pemilik rumah untuk numpang mandi dan berteduh sejenak di depan
teras rumahnya. Tak disangka-sangka ternyata sang pemilik rumah menyambut kami
dengan keramahan yang amat sangat. Bukan hanya dipersilahkan mandi, tetapi kami
juga dipersilahkan masuk ke rumahnya, dibuatkan kopi panas. Kami
berbincang-bincang sejenak dan akhirnya kami mohon pamit untuk tidur karena
badan kami sudah lelah sekali. Dan ketika pagi tiba, aku baru sadar ternyata
kami berempat tidur di kamarnya dan ia tidur di luar dan bahkan menjagai sepeda
kami karena saat gelap biasanya banyak rampok yang berkeliaran di daerah sana.
Sang pemilik rumah bahkan masih sempat memasakkan kami nasi goreng sebelum kami
pergi. Lalu setelah mengucapkan banyak terima kasih atas keramahan yang luar
biasa itu, akhirnya kami pun pamit demi meneruskan perjalanan kami. Dan kami
pergi tanpa memberikan uang sepeser pun kepada mereka.
Sampai mati aku tidak akan pernah bisa melupakan
pengalaman ini. Bayangkan saja, di jaman sekarang ini masih ada orang yang
percaya kepada orang asing, memberikan keramahan dan kepercayaan yang luar
biasa kepada tamu yang bahkan baru dikenalnya pada saat itu juga. Sang pemilik
rumah hanya percaya bahwa setiap orang pada dasarnya itu baik, maka ia tidak
takut dan curiga terhadap kami. Hal itu membuktikan bahwa masih ada orang baik
di dunia ini.
Seperti kisah Lukas 10:25-37, mengenai orang
Samaria yang baik hati. Orang Samaria adalah orang yang dihina dan dicemooh
oleh orang-orang Yahudi, tetapi justru orang yang dihina dan dicemooh itulah
yang memberikan bantuannya kepada orang yang dirampok di jalan dan memberikan
keramahan yang luar biasa kepada korban perampokan itu.
Saya melihat ada kesamaan dalam dua cerita di
atas. Kesamaan itu terletak pada kesediaan untuk membantu orang lain, bahkan
kepada orang yang tidak dikenal. Dalam kehidupan ini, kita pada umumnya lebih
sering membantu orang-orang yang kita kenal, yang selalu baik terhadap kita apalagi
yang pernah menolong kita, tapi pada orang asing, kita akan lebih sulit
menawarkan bantuan.
Maka dari itu saudara-saudari yang terkasih dalam
kesempatan Pra-Paskah ini, saya mengajak anda semua termasuk saya untuk
sebanyak mungkin membantu orang lain. Dan hal itu tidaklah mudah, ada unsur pengorbanan
di sana, bagaimana kita mau menyediakan diri kita, entah itu tenaga, waktu atau
pikiran buat orang lain. Bukan hanya orang-orang yang kita kenal saja tapi
siapa pun yang kita lihat mengalami kesulitan. Sama seperti Yesus yang mati di
kayu salib, Ia mati bukan hanya untuk orang-orang baik saja, melainkan untuk
semua orang, siapa pun dia. (Y.L. Indra Kurniawan S.S.,M.M.)
Comments
Post a Comment