Hidup dan Karya
Ludwig Andreas Feuerbach
dilahirkan di Landshut, Jerman Selatan pada tahun 1804. Ayahnya seorang ahli
hukum dan ibunya seorang wanita saleh. Pada umur 15 tahun ia sudah merasa
tertarik dengan soal-soal keagamaan. Tahun 1823, belajar teologi protestan di
universitas Heidelberg, lalu 1824 pergi ke Berlin untuk berguru kepada Hegel.
Di sini minatnya berubah dari jurusan teologi ke filsafat. Tahun 1825, pindah
ke Erlangen untuk mempelajari lmu pengetahuan alam dan memperoleh gelar Doktor
filsafat. Tahun 1829-1832, Feuerbach bekerja sebagai dosen filsafat dan perlahan-lahan
mulai meninggalkan pengaruh filsafat Hegel. Feuerbach mengalami kesulitan untuk
mendapatkan gelar Profesor di kota tersebut karena bukunya “Gedanken uber
Tod und Un-sterblichkeit” (Beberapa Pemikiran tentang Kematian dan Keabadian)
dinilai membahayakan iman Kristen. Feuerbach kemudian berhenti menjadi dosen
dan menjadi pengarang bebas. Tahun 1837, menikah dengan Berta Low dan
melahirkan seorang putri, Mathilde. Namun sayang tiga tahun kemudian putri
mereka meninggal dunia. Feuerbach merasa amat terpukul dan melihat kematian
sebagai tak bermakna sedikit pun. Dia kemudian menulis buku “Das Wesen
des Christentums” (Hakikat Agama Kristen) sebagai kritik tajam atas
agama Kristen. Feuerbach telah berubah dari seorang teolog menjadi seorang
ateis. Pada tahun 1868, Feuerbach berkenalan dengan Marx melalui bukunya “Das
Kapital” lalu menggabungkan diri dengan Partai Sosial Demokrat Jerman. Pada
tahun 1870, Feuerbach terkena serangan jantung dan wafat di desa Rechenberg,
dekat kota Nurnberg.
Dari Filsafat Epistemologi ke
Antropologi
Filsafat yang dipakai oleh
Feuerbach adalah filsafat baru, yakni
filsafat yang mendasarkan dirinya dan memusatkan penyelidikannya hanya pada
pengalaman konkret atau empiri. Bagi Feuerbach, kenyataan konkret-inderawi
adalah syarat untuk berfilsafat, karena hanya dengan itulah kepastian dan
kebenaran dapat diperoleh. Pada dasarnya manusia percaya pada eksistensi dari
sesuatu yang ‘ada’-nya dapat diinderawi. Maka dari itu, Feuerbach menyimpulkan
bahwa kebenaran, kenyataan, keinderawian adalah identik. Pengalaman inderawi
adalah asas tunggal untuk berfilsafat.
Feuerbach mengkritik ajaran filsafat lama terutama pada Hegel yang
menekankan peranan ‘Roh’, kesadaran’, ‘akal budi’, atau ‘ide’ dimana semua hal
tersebut sama sekali abstrak dalam menjelaskan segala sesuatu. Feuerbach
menganggap cara berpikir macam ini hanyalah sekulasi melulu, karena tidak
didasarkan pada pengalaman empiris.
Feuerbach merancang
antropologi atau filsafat manusianya berdasarkan pengalaman empiris dan atas
dasar inilah dia menolak “filsafat lama” Hegel yang menyatakan unsur sejati
dalam diri manusia adalah akal budinya. Prinsip “filsafat baru” Feuerbach tidak
hanya akal budi melainkan hakekat manusia yang sejati dan yang menyeluruh.
Totalitas hakekat manusia yang
sejati
Menurut Feuerbach, hakekat
manusia adalah akal budi, kehendak, dan hati. Hati yang dimaksud di sini
adalah sebutan untuk cinta atau perasaan yang dikategorikan ke
dalam bidang pengalaman inderawi atau empiris. Lalu kehendak dan akal budi ada sebagai aktifitas jiwa.
Namun bukan berarti kedua hal tersebut bersifat non-empiris karena jiwa
merupakan kesatuan menyeluruh semua indera. Maka kesimpulannya, keinderawian
adalah kesatuan hakekat manusia. Individualitas dan kejasmanian itu tidak
terpisahkan satu sama lain.
Hubungan antar individu
Manusia menjadi manusia yang
utuh berkat adanya orang lain. Manusia baru menjadi manusia melalui manusia
lain. Dalam relasi dengan orang lain, manusia bisa merasa mencintai dan
dicintai, berdialog lalu di dalam dan melalui dialog tersebut, manusia dapat
menemukan kebenaran.
Hubungan ini tidak terbatas
hanya pada relasi antar individu saja, tetapi hubungan antar individu dengan
keseluruhan, yaitu bangsa manusia (Gattung). Dalam hubungan
dengan bangsa manusia ini, setiap individu hanyalah representan dari
bangsa manusia. Maka dari itu, menurut Feuerbach bangsa manusia inilah ‘manusia yang sempurna’ yang sama
sekali tidak terbatas dibandingkan dengan masing-masing individu yang terbatas
sifatnya dalam segala hal.
Dengan hal ini manusia
menyadari dirinya terbatas jika dibandingkan dengan bangsa manusia tadi.
Setiap individu sampai pada kesadaran bahwa ia terbatas karena ia merasakan,
memikirkan dan mengintuisikan bahwa bangsa manusia itu tidak terbatas.
Kesadaran ini lantas memunculkan suatu keinginan ideal dalam diri manusia,
suatu keinginan akan ketidakterbatasan dan keabadian yang sebenarnya sudah ada
di dalam diri manusia sebagai ‘idea keabadian’.
Allah adalah ciptaan manusia
[Teori Proyeksi]
Kita sudah mengetahui bahwa
dasar pengetahuan menurut Feuerbach adalah pengalaman empiris. Maka, muncul
pertanyaan: Darimana munculnya ide tentang Allah?
Idea tentang Allah berasal
dari keinginan ideal manusia akan ketidakterbatasan dan keabadian. Keinginan
itu jugalah yang akhirnya menjadi hakekat dasar dan prinsip bagi agama. Kita
sudah mengetahui bahwa manusia itu terbatas dan keterbatasannya tersebut
memunculkan impian atau harapan akan cita-cita ideal. Tetapi karena tidak
berdaya meraih cita-cita ideal tersebut, manusia dengan imajinasinya mencoba
untuk menggagaskan adanya suatu entitas yang memiliki kekuatan untuk mewujudkan
cita-citanya tersebut. Apa yang menjadi harapan atau dambaan manusia namun
tidak ada padanya, itulah yang dijadikan sebagai Allahnya. Allah adalah
cita-cita ideal manusia lalu karena dambaan ini inheren pada hakekat
kemanusiaan sebagai idea, maka Allah adalah ideal hakekat manusia dan hakekat
yang berdiri sendiri secara real. Maka jelaslah bagi Feuerbach untuk menolak
Allah karena Allah hanyalah ada di dalam idea dan tidak ada sama sekali dalam
realitas.
Pandangan ini sering disebut
sebagai teori proyeksi. Jadi manusia yang secara hakiki terbatas membayangkan
atau berpikir mengenai adanya kesempurnaan, kebaikan, keabadian. Karena manusia
itu serba terbatas dan tidak sempurna, maka ia mencoba membayangkan adanya
sebuah kenyataan yang memiliki itu semua secara tidak terbatas. Kenyataan itu
kemudian dibayangkan berada di luar dirinya dan berdiri secara otonom. Padahal
kenyataan tersebut hanyalah merupakan proyeksi dari cita-cita ideal manusia.
Misalnya saja sebutan yang sering dipakai untuk menyebut Allah sebagai yang
Mahatahu, sebenarnya merupakan dambaan manusia untuk megetahui segala sesuatu
atau Allah yang mahakuasa yang sebenarnya merupakan keinginan manusia untuk melakukan
segala sesuatu yang ia kehendaki. Jadi kita bisa melihat sebutan Allah yang maha
ini atau itu adalah sifat yang dilemparkan oleh manusia. Jika dalam Kitab Suci
[Kej 1:26] ada tertulis “Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya” di sini
Feuerbach berpendapat bahwa “manusia menciptakan Allah menurut citranya
sendiri”.
Dua sikap Feuerbach terhadap
agama
Pertama, agama adalah harta
karun manusia yang terpendam
Di dalam agama, manusia
melihat siapa dia sebenarnya. Semakin seseorang mengetahui sifat-sifat Allah,
semakin ia mengenal dirinya sendiri karena Allah diproyeksikan sesuai dengan
citranya sendiri.
Kedua, agama sebagai
keterasingan manusia
Di dalam agama, hakikat
manusia diobjektivasikan dan disembah sebagai suatu entitas yang otonom.
Manusia menempatkan dirinya lebih rendah dari hasil proyeksinya sendiri.
Manusia menjadi terasing karena tidak mengenali bahwa Allah yang disembahnya
adalah hakekatnya sendiri. Selain itu dalam agama manusia memblokir dirinya
sendiri untuk semakin sesuai dengan cita-cita idealnya, karena perealisasian
potensi-potensi yang ada dalam diri manusia terhenti dan manusia malah
memproyeksikannya kepada Allah.
Maka supaya keterasingan itu
lenyap, manusia harus meniadakan agama dan menjadi dirinya sendiri. Agama harus
dibongkar agar manusia dapat merealisasikan potensi-potensi yang ada di dalam
dirinya. Teologi harus menjadi antropologi.
Catatan Kritis atas Filsafat
Feuerbach
Pertama, pendapat Feuerbach
bahwa agama atau kepercayaan kepada Tuhan merupakan proyeksi manusia ada benarnya
juga. Dalam kenyataan, kita sering menjumpai umat beragama terutama pemimpinnya
yang seringkali melakukan suatu tindakan yang mengatasnamakan Tuhan, padahal
semua hal itu hanya ingin memuaskan keinginan-keinginan yang tersembunyi di
dalam (hidden needs) dirinya. Maka filsafat Feuerbach mengingatkan kita untuk
selalu waspada dengan laku hidup keagamaan.
Kedua, ajaran Feuerbach tidak
dapat menjelaskan bahwa Tuhan itu tidak ada. Feuerbach hanya membicarakan agama
dari fungsi psikologisnya saja, tetapi pertanyaan mengenai hakekat agama
terutama mengenai ada atau tidaknya Allah tidak dapat dijawabnya.
Ketiga, sikap ateis Feuerbach
mengandung kontradiksi dengan ajarannya yang menekankan pengalaman empiris
sebagai dasar berfilsafat. Bagaimana manusia dapat mengenal Allah sebagai yang Maha,
padahal tidak ada pengalaman empiris tentang hal tersebut.
Keempat, Feuerbach tidak
berhasil menggantikan cara berpikir metafisik dengan pemutlakan empiris dalam
filsafat barunya. Dengan ajarannya mengenai keabadian manusia,
ketidakterbatasan potensi-potensi manusia, kesempurnaan bangsa manusia
(Gattung) sebenarnya mengandung pemahaman metafisis yang melampaui
pengalaman empiris.
Maka berdasarkan catatan di
atas, kita tidak perlu menerima ajaran Feuerbach dan tidak dapat menjadikan
ajarannya sebagai pendasaran dengan alasan inkonsistensi yang ada dalam logika
pemikirannya dan agama yang direduksi menjadi psikologisme melulu namun lebih
daripada itu semua, Feuerbach memperluas pemahaman kita mengenai manusia karena
hanya melihat manusia sebagai makhluk inderawi dan menolak segala kemampuan
lain manusia di luar kemampuan inderawi ini. (Y.L. Indra Kurniawan S.S., M.M.)
BIBLIOGRAFI
Hamersma,
Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta, Gramedia, 1986.
Hardiman,
F. Budi, Filsafat Modern dari Machiavelli
sampai Nietzsche, Jakarta, Gramedia, 2004.
Tjahjadi,
Simon Petrus. L, Tuhan Para Filsuf dan
Ilmuwan, Yogyakarta, Kanisius, 2007.
Comments
Post a Comment