Perlukah Kita Mengaku Dosa ?
Suatu kali saya pernah bertengkar dengan pacar
saya. Peristiwanya seperti ini, di suatu Jumat sore saya berangkat dari rumah
untuk menjemput pacar saya itu. Malam ini kami sudah membuat jadwal bersama
untuk menonton perempat final piala dunia di McD Semanggi. Jarak dari rumah
saya dengan rumahnya sekitar 27 km perjalanan. Saya berangkat dari rumah
sekitar jam setengah empat sore supaya tidak terlambat sampai di rumahnya.
Ternyata diluar dugaan saya, sore itu saya terjebak dalam kemacetan yang luar
biasa. Alhasil saya baru tiba jam 6 sore, padahal saya janji menjemput dia jam
setengah 5 sore. Begitu sampai di rumahnya, dia menyambut saya dengan raut muka
yang jutek dan marah akibat menunggu
terlalu lama. Saya sungguh sebal karena dia tidak mengerti betapa keras
perjuangan saya selama menuju ke rumahnya. Tidak hanya itu saja, tak lama
setelah kami berangkat, hujan deras pun menyusul. Waktu itu kami berangkat dengan menggunakan
motor dan kebetulan saya hanya membawa satu jas hujan saja. Di sini anda bisa
membayangkan situasi yang saya alami, terkena macet parah ditambah dengan hujan
deras serta bersama dengan seorang pacar yang terlihat kekesalannya semakin
memuncak. Kami sempat bertengkar karena dia terus-menerus mengeluh dan tidak mau
memahami situasi yang ada. Akhirnya saya
mengalah dengan meminta maaf, merayu-rayu dan membiarkan dia memakai jas hujan
saya sedangkan saya memakai celana pendek saja. Kami pun tetap berangkat untuk
menonton perempat final dengan menembus hujan deras sambil menikmati betapa
dinginnya malam itu.
Saat kami sempat bertengkar, sesaat saya
mengalami adanya keterpisahan antara saya dengan dia. Hubungan kami sempat
rusak meskipun hanya beberapa menit
saja. Pengalaman ini sengaja saya ceritakan untuk menggambarkan bagaimana
seseorang dapat mengalami suatu kerenggangan dalam hubungannya dengan sesama.
Kita bahkan dapat memisahkan diri bukan hanya kepada sesama, melainkan kepada
Tuhan. Dengan menolak cinta Tuhan kepada kita, atau bahkan menyalahgunakan
anugerah Tuhan atas hidup kita, disana kita mengalami adanya suatu keterpisahan
(alienasi).
Dosa bukan hanya sekedar masalah pelanggaran
hukum, melainkan sebuah pemutusan hubungan. Dosa merupakan suatu penolakan
terhadap kasih, penolakan untuk mengasihi Tuhan sebagai jawaban atas kasih-Nya
kepada kita, penolakan untuk mengasihi sesama seperti Tuhan mengasihi kita,
penolakan untuk mengasihi dunia seperti Tuhan mengasihinya.
Hubungan yang rusak ini perlu dipulihkan.
Seorang pendosa perlu berdamai (rekonsiliasi). Arti dasar kata “rekonsiliasi”
adalah “bersekutu kembali”. Dalam konteks dosa manusia, rekonsiliasi harus
dikatikan dengan kembalinya manusia ke dalam tujuannya yang semula, keluar dari
keterasingan dan menempatkan diri kita sendiri ke dalam hubungan yang sehat
dengan diri kita, dengan sesama kita dan dengan Tuhan.
Salah satu cara yang paling jelas dan eksplisit
untuk memulihkan hubungan itu adalah bertemu secara istimewa dengan Tuhan dalam
Sakramen Tobat. Sakramen Tobat bukan merupakan suatu kewajiban yang menakutkan,
dimana kita harus datang menghadap pastor dalam bilik tertutup yang dibatasi
oleh kawat jeruji dengan lampu remang-remang kemudian berlutut dan
mengungkapkan semua aib kita. Menurut pengalaman, rasanya mulut ini susah kali
mengungkapkan dosa-dosa yang menjadi aib kedosaan kita, ibaratnya seperti ada emas di dalam mulut.
Justru sebaliknya, Sakramen Tobat adalah sebuah
perayaan yang menggembirakan sama seperti yang digambarkan dalam kisah Anak
yang Hilang. Sang Ayah tidak lagi mempersoalkan masa lalu anaknya yang kurang
ajar dan kelam, tapi menyambutnya dengan penuh sukacita. “Kita
patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup
kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (Lukas
15:11-32).
Sakramen Tobat adalah perayaan cinta dan
pengampunan, sebuah pembaharuan hubungan dengan pihak Tuhan dan Gereja Tuhan
dimana seorang pendosa mengalami pembebasan dari kesendirian dan hubungannya
dipulihkan. Sakramen Tobat tidak ada
gunanya kecuali jika ada seseorang yang didamaikan. Dosa merupakan bagian dari
kehidupan kita masing-masing. Lari dari kedosaan kita berarti lari dari
kenyataan.
Dalam Pembaptisan dan Krisma, seseorang menjadi
anggota Gereja. ia tidak dapat kehilangan keanggotaan itu. Tetapi bisa terjadi
bahwa seseorang, karena tindakan kejahatan yang amat besar, terkena hukuman
Gereja, yaitu “pengucilan” atau “ekskomunikasi”. Orang itu tetap anggota
Gereja, namun ia dilarang mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi serta dalam
perayaan sakramen atau sakramentali yang lain dan tidak boleh melakukan tugas
gerejawi manapun (KHK kan. 1331). Larangan itu sebetulnya dikenakan pada setiap
orang yang melakukan dosa besar. Orang itu pun tidak boleh menerima sakramen,
kecuali sakramen baptis dan pengurapan orang sakit, karena mempunyai dosa
besar. Dengan Sakramen Tobat tidak hanya dosanya diampuni, tetapi ia dapat lagi
mengambil bagian secara penuh dalam kehidupan Gereja.
Konsili Vatikan II juga meninjau kembali
Sakramen Tobat. Yang terpenting dalam Sakramen Tobat memang tobat dan “orang beriman yang bertobat” (LG 28).
Hubungan dengan Gereja juga ditekankan. “Mereka
yang menerima Sakramen Tobat memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus
didamaikan dengan Gereja” (LG 11).
Maka sebagai kesimpulan akhir, perlukah kita
mengaku dosa? Jawabannya adalah PERLU, karena dengan mengaku dosa kita
menyadari kenyataan diri kita sebagai seorang pendosa yang menolak dan
menyalahgunakan cinta Tuhan terhadap diri kita sehingga hal tersebut akhirnya
membuat kita terpisah dengan Tuhan dan sesama. Sakramen Tobat hadir dan
berperan untuk memulihkan kembali hubungan yang sempat rusak tersebut karena
kedosaan kita. (Y.L. Indra Kurniawan)
Comments
Post a Comment